hy sahabat, kali ini saya ingin membgikan artikel singkat tentang kisah imam syafi i, simak artikel lengkapnya disini
Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya
Gaza ) di bumi Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah
seorang bayi lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas
Asy-Syafi`ie dengan seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan
Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie . Demikian nama
lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini dengan
kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa saat setelah
kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal
dunia dalam usia yang masih muda. Bayi lelaki yang rupawan itu pun akhirnya
hidup sebagai anak yatim
meski hidup tanpa suami, sang ibu telah sukses menerjemahkan
visi jangka panjang untuk membawa nama harum sang anak ke hadapan Allahu ta’ala.
Sekalipun hidup dalam sebatang kara, hal itu tidak menghalangi sang ibu untuk
menempatkan anaknya dalam kultur pendidikan agama yang terbaik di Mekkah.
Sang ibu sadar, ia tidak memiliki banyak uang, namun
kecintaananya terhadap Allah dan buah hatinya, sang ibu meluluhkan hati sang
guru untuk rela mengajar Imam Syafi’i meski tanpa bayaran.
Sekalipun hidup dalam kemiskinan, kecintaan Imam Syafi’i tak
sama sekali membuatnya pantang menyerah dalam mencintai Islam dan menimba ilmu.
Beliau sampai harus mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah
kurma, dan tulang unta semata-mata demi kecintaannya dalam menulis Islam.
Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang,
pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi.
Hingga pada usia sebelum beranjak ke 15 tahun, Imam Syafi’i
menceritakan hasratnya kepada sang ibu yang sangat dikasihinya tentang sebuah
keinginan seorang anak untuk menambah ilmu diluar Mekkah. Mulanya sang bunda
menolak. Berat baginya melepaskan Syafi’i, dalam sebuah kondisi dimana beliau
berharap kelak Imam Syafi’i tetap berada bersamanya untuk menjaganya di hari
tua.
Namun demi ketaatan dan kecintaan Syafi’i kepada Ibundanya,
maka mulanya beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu. Meskipun demikian
akhirnya sang ibunda mengizinkan Imam Syafi’i untuk memenuhi hajatnya untuk
menambah Ilmu Pengetahuan ke luar kota.
Sebelum melepaskan Syafi’i berangkat, ibunda Imam Syafi’i
menjatuhkan doa ditengah rasa haru orangtua kandung memiliki anak yang telah
jatuh hati pada ilmu,
“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan
meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela
melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh
karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya.
Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat
sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna,
amin!”
Setelah usai berdo’a, sang ibu memeluk Syafi’i kecil dengan
penuh kasih sayang bersama linangan air mata membanjiri jilbabnya. Ia sangat
sedih betapa sang anak akan segera berpisah dengannya. Sambil mengelap air mata
dari wajahnya, sang ibu berpesan,
“Pergilah anakku. Allah bersamamu. Insya-Allah engkau akan
menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang
karena ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik
tempat untuk memohon perlindungan!” Subhanallah
Selepas mendengar doa itu, Imam Syafi’i mencium tangan sang
ibu dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Sambil meninggalkan wanita
paling tegar dalam hidupnya itu, Imam Syafi’i melambaikan tangan mengucapkan
salam perpisahan. Ia berharap ibundanya senantiasa mendo’akan untuk
kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu.
Imam Syafi’i tak sanggup menahan sedihnya, ia pergi dengan
lelehan airmata membanjiri wajahnya. Wajah yang mengingatkan pada seorang ibu
yang telah memolesnya menuju seorang bergelar ulama besar. Ya ulama besar yang
akan kenang sampai kiamat menjelang.
Itulah peran yang ditopang seorang ibu yang selalu
memasrahkan buah hatinya kepada Allah berserta kekuatan tauhid yang
menyala-nyala. Inilah karakter sejati seorang ibu yang telah menyerahkan jiwa
raga anaknya hanya kepada ilmu. Menyerahkan segala aktivitasnya dalam rangka
pengabdian kepada Allah. Dari mulai ia melahirkan, mengasuhnya tanpa suami,
membesarkannya, hingga mengantar Syafi’i menjadi Imam Besar Umat Islam hingga
saat ini.
Keteguhannya dalam membela as-sunnah.
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits,
beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan
Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu
menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi
penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian
telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling
mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan
membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada
Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau
berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran
dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka
ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah
yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan
prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam,
dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih
aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan
madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami
sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa
hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan
ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan
mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan
Sunnah dan memilih ilmu kalam.
demikianlah artikel singkat ini tentang kisah imam syafi i, semoga sahabat dapat mengambil manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar